Minggu, 24 Mei 2009

Perjuangan mencapai kepentingan nasional Thailand dalam konflik Kuil Preah Vihear

D:\Tugas\Punyenye rani\Copy of Logo Parmad\warna biru kebalikan.jpg

Tugas Pengantar diplomasi

Perjuangan mencapai kepentingan nasional Thailand dalam konflik Kuil Preah Vihear




Oleh

Rani Handayani

208000373

PROGRAM STUDY HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PARAMADINA

2009

BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Kawasan Asia Tenggara memang tak pernah sepi dari konflik dan pertikaian. Belum lama ini kita menyaksikan gejolak dan berbagai gerakan massa di Myanmar yang bertujuan untuk memrotes rezim Junta Militer yang memerintah dengan otoriter. Beberapa waktu kemudian kita dikejutkan oleh gejolak politik yang terjadi di dalam negeri Malaysia. Malaysia yang selama ini dikenal dengan stabilitas politiknya, dilanda isu rasial dalam politik. Isu ini berlanjut kepada pecahnya koalisi Barisan Nasional dan menguatnya partai oposisi yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim. Hampir bersamaan dengan permasalahan Malaysia, Thailand juga mengalami instabilitas politik yang berlarut-larut. Pertukaran Kepala Pemerintahan dengan siklus yang tergolong cepat berlangsung di sana. PM Thaksin turun tahta, lalu digantikan oleh PM Samak yang pada akhirnya juga mangkat. Somchai pun naik menjadi pengganti Samak dalam melanjutkan pemerintahan di Thailand. Dan sekarang, Somchai pun telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Thailand.

Selain konflik politik yang berlangsung dalam lingkup domestik di dalam negara ASEAN tersebut di atas, terdapat juga konflik yang lingkupnya internasional dalam artian melibatkan satu negara dengan negara lainnya. Konflik antara Kamboja dan Thailand tentang Kuil Preah Vihear merupakan salah satu konflik antar negara di kawasan Asia Tenggara. Konflik ini bersumber dari saling klaim antara Thailand dan Kamboja atas Kuil Preah Vihear. Hal itu terjadi karena kuil tersebut berada di perbatasan kedua negara dan sebagai situs sejarah kuil ini kerap menjadi tujuan favorit wisatawan baik dari Kamboja maupun dari Thailand. Kuil ini merupakan kuil agama Hindu yang merupakan situs sejarah yang telah berumur kurang lebih 900 tahun. Karena aspek kesejarahannya tersebut, kuil ini didaftarkan sebagai salah satu situs warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. Karena alasan-alasan tersebut, maka kepemilikan atas kuil ini dapat mendatangkan keuntungan pada negara yang memilikinya.

I.2 Identifikasi Masalah

Penulis mencoba mengidentifikasi beberapa permasalahan yang mengganjal dan ingin penulis bahas di dalam makalah ini. Pertanyaan tersebut yaitu:

1. Apakah ada hubungan antara gejolak politik dalam negeri Thailand terhadap konflik Kuil Preah Vihear?

2. Tepatkah sikap Thailand dalam konflik ini dilihat sebagai sebuah kebijakan luar negeri suatu negara?

I.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas akhir makalah dalam Mata Kuliah Pengantar diplomasi. Di samping itu, makalah ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gejolak politik dalam negeri Thailand dengan kebijakan luar negerinya, khususnya dalam kasus kuil Preah Vihear, serta tepat atau tidaknya sikap Thailand tersebut sebagai sebuah kebijakan luar negeri.

I.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan penulis buktikan di dalam makalah ini adalah: konflik Kuil Preah Vihear merupakan salah satu bentuk ketepatan kebijakan luar negeri Thailand yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional.

BAB II

Landasan Teori

Ada beberapa asumsi realis yang ingin penulis pakai di dalam menganalisis masalah yang terdapat di dalam makalah ini. Pertama, sifat negara dalam hubungan internasional sama dengan sifat dasar manusia. Manusia mementingkan diri sendiri serta mengejar kekuasaan, dan hal tersebut dapat memicu agresi. Sedangkan politik internasional—seperti semua politik—adalah perjuangan demi kekuasaan. Kedua, politik dunia merupakan anarki internasional yang bersifat konfliktual sehingga permasalah cenderung diselesaikan melalui perang. Dan ketiga, karena aktor negara adalah rasional, keamanan nasional serta kelangsungan hidup negara merupakan hal yang harus dijunjung tinggi.

Apabila kita berbicara mengenai diplomasi maka diplomasi merupakan salah satu cara dalam mengimplementasikan kebijakan luar negeri atau foreign policy. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui definisi dari kebijakan luar negeri terlebih dahulu. Kebijakan luar negeri atau foreign policy adalah sebuah sistem aktivitas yang dikembangkan oleh komunitas untuk merubah perilaku dari negara lain dan untuk mengatur aktivitas mereka sendiri terhadap lingkungan internasional. Kebijakan luar negeri dapat dijabarkan sebagai sintesis antara tujuan atau ends (yaitu kepentingan nasional) dan cara atau means (yaitu power dan kapabilitas) dari sebuah negara.[1]

Kebijakan luar negeri memiliki sasaran yang pencapaiannya dapat dijadikan indikator mengenai tepat atau tidaknya kebijakan luar negeri suatu negara. Terdapat lima sasaran kebijakan luar negeri yaitu (1) menjaga kesatuan negara, (2) mendukung kepentingan ekonomi, (3) menjaga keamanan nasional, (4) melindungi harga diri nasional dan membangun kekuatan nasional, serta (5) membentuk tatanan dunia.[2]

Sedangkan diplomasi, yang sangat erat dihubungkan dengan hubungan antarnegara, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negoisasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan pengggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.[3] Karena tujuan dari diplomasi yang baik atau efektif adalah untuk menjamin keuntungan maksimum negara sendiri. Apabila negosiasi gagal mencapai tujuan melalui cara damai, penentangan dalam berbagai bentuk (termasuk penggunaan kekuatan) diambil sebagai ganti. Hal ini sejalan dengan pemikiran Morgenthau, “Sarana Diplomasi yang amat menentukan ada tiga: Bujukan (Persuasion), Kerjasama (Compromise), dan Ancaman Kekerasan (Threat of Force).”[4]

BAB III

Pembahasan

III.1 Kronologis Konflik Kuil Preah Vihear

Perselisihan mengenai Kuil Preah Vihear sebenarnya bukanlah permasalahan kontemporer dalam hubungan bilateral Kamboja dan Thailand. Masalah ini ditenggarai telah muncul sejak tahun 1949 ketika Kamboja berada di bawah kekuasaan Perancis. Perancis memperkarakan kepemilikan Gunung Phra Viharn, tempat dimana Kuil Preah Vihear berada, yang berusaha direbut Thailand. Semenjak itu, hubungan antara Thailand dan Kamboja menurun secara drastis. Pada tahun 1958, Kamboja mengeluarkan beberapa klaim atas kepemilikan Gunung Phra Viharn. Hal ini ditanggapi oleh Thailand dengan mendeklarasikan keadaan darurat di enam provinsi yang berbatasan dengan Kamboja. Kamboja pun tidak tinggal diam, pada tanggal 1 Desember 1958 Kamboja memutuskan hubungan diplomatik dengan Thailand.

Setelah menempuh berbagai upaya bilateral, Kamboja membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional (World Court) pada 6 Oktober 1959. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1962, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dibawah kekuasaan Kamboja. Dalam waktu sebulan, Thailand mengeluarkan semua hal yang berhubungan dengannya dari Gunung Phra Viharn termasuk tiang bendera Thailand. Namun, Kamboja menyadari bahwa Thailand merupakan mitra yang strategis dalam hubungan luar negerinya. Pada jangka waktu 1970 hingga 1975, Kamboja berusaha memperbaiki hubungan diplomatik dengan Thailand lalu membuka Kuil Preah Vihear sebagai salah satu objek wisata. Hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1975 Kamboja dilanda perang saudara hingga tahun 1991. Peristiwa ini membuat akses ke Kuil Preah Vihear menjadi terhambat. Akan tetapi pada tahun 1992, Kamboja berusaha membuka kembali situs ini untuk pariwisata. Ketenaran kuil ini sebagai salah satu objek wisata telah menyebar ke seluruh dunia sehingga ketika konferensi UNESCO di Christchurch, New Zealand, tahun 2007, Kamboja menominasikan Kuil Preah Vihear sebagai salah satu situs Warisan Dunia.

Tindakan Kamboja tersebut memicu kemarahan pada pihak Thailand. Berbagai protes dari kalangan nasionalis Thailand bermunculan. Hal yang serupa juga terjadi di Kamboja. Masyarakat juga turun ke jalan dalam rangka membela klaim terhadap Kuil Preah Vihear. Akan tetapi, pemerintah dari kedua belah pihak berusaha menempuh jalan perundingan untuk menyelesaikan masalah ini. Perundingan tersebut mennghasilkan sebuah komunike bersama dari kedua pemerintahan pada tanggal 18 Juni 2008 yang menyatakan dukungan terhadap Kamboja untuk mendaftarkan Kuil Preah Vihear sebagai salah satu Warisan Dunia.

Komunike yang berpihak kepada Kamboja ini menimbulkan gejolak di dalam negeri Thailand. Menlu Noppadon Pattama merupakan salah satu Menteri bermasalah yang menjadi sasaran dalam perdebatan mosi tidak percaya terhadap PM Samak Sundaravej. Walhasil, PM Samak turun tahta, lalu digantikan oleh PM Somchai. Pada awal Juli, kedua negara mulai menempatkan tentara mereka di sekitar Kuil Preah Vihear. Kondisi ini memicu ketegangan di kedua belah pihak. Namun pertemuan pejabat senior dari Departemen Pertahanan masing-masing negara pada tanggal 21 Juli mengungkapkan bahwa Thailand dan Kamboja setuju untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah ini. Hal ini merupakan pernyataan yang cukup melegakan karena pada saat itu Thailand telah menempatkan 500 personil tentaranya di perbatasan, sedangkan Kamboja sekitar 1000 personil. Akhirnya pada bulan Agustus, kedua belah pihak sepakat untuk mengurangi jumah pasukan yang berada di perbatasan.

Akan tetapi, itikad baik dari kedua negara tersebut tidak berjalan dengan lancar. Pada tanggal 3 Oktober 2008, pasukan dari kedua belah pihak terlibat dalam baku tembak yang memakan korban satu orang luka-luka pada tentara Kamboja dan dua orang pada tentara Thailand. Masing-masing negara saling menuding mengenai pihak mana yang mendahului serangan. Namun ketegangan ini kembali diredakan dengan perundingan antara Menlu Kamboja Hor Namhong dan Menlu Thailand Sompong Amornwiwat di Pnom Penh pada tanggal 13 Oktober 2008. Keadaan kembali memburuk pada tanggal 15 Oktober 2008. Baku tembak kembali terjadi antara pasukan Kamboja dan Thailand yang berada di perbatasan. Baku tembak ini memakan korban meninggal dari kedua belah pihak. Baku tembak ini dipicu pernyataan PM Kamboja Hun Sen agar pasukan Thailand segera meninggalkan wilayah sekitar Kuil Preah Vihear, dan pernyataan Deplu Thailand yang siap mengevakuasi sekitar 1500 warga Thailand yang berada di Kamboja. Akhirnya, konflik antara kedua negara ini diredakan kembali dengan pertemuan pada tanggal 24 Oktober. Pasukan dari kedua belah pihak akan berpatroli secara bersama-sama di wilayah tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman. Selain itu, pemimpin dari kedua negara menyatakan bahwa perang telah usai dan mereka lebih mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan masalah ini.

III.2 Konflik Kuil Preah Vihear dan Asumsi Realisme

Konflik Kuil Preah Vihear merupakan bukti bahwa realisme belum menjadi sebuah perspektif yang usang. Penulis mencoba membuktikan bahwa asumsi yang dikemukakan oleh realisme masih relevan dalam berbagai fenomena internasional. Berangkat dari kasus Kuil Preah Vihear, asumsi yang diusung realis bisa dibuktikan keabsahannya. Asumsi yang pertama yaitu negara bersifat egois dan berusaha mengejar kekuasaan dapat kita lihat dalam konflik Kuil Preah Vihear di atas. Thailand merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Kamboja. Hal tersebut membuat Thailand memiliki berbagai alasan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Kamboja. Namun ketika Kamboja mendaftarkan Kuil Preah Vihear sebagai salah satu Warisan Dunia, Thailand merasa dirugikan. Kuil tersebut merupakan objek wisata yang cukup kontributif dalam dunia pariwisata, apalagi akses untuk mencapai kuil tersebut lebih mudah dilalui dari wilayah Thailand. Naluri untuk menguasai objek wisata tersebut demi alasan pariwisata pun muncul. Tidak hanya itu saja, dalam konflik ini Thailand juga ingin memperlihatkan kekuatannya di daerah Asia Tenggara, Indochina khususnya. Hal ini terkait dengan perebutan pengaruh antara Thailand dengan Vietnam atas Kamboja yang telah berlangsung lama.[5] Dengan konflik ini, Thailand bisa memamerkan kekuatan yang dimilikinya demi menunjukan harga diri dan menonjolkan pengaruhnya di Indochina.

Asumsi yang kedua berpendapat bahwa politik dunia adalah anarki internasional yang bersifat konfliktual sehingga penyelesaian konflik dilaksanakan dengan peperangan. Dalam tatanan politik dunia internasional sekarang dapat dikatakan tidak terdapat semacam leviatan yang bisa memunculkan keteraturan dalam interaksi hubungan internasional. Walaupun ada PBB ataupun ASEAN untuk wilayah Asia Tenggara, akan tetapi prinsip kedaulatan masing-masing negara tidak mengijinkan intervensi tanpa ijin terhadap permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, Kamboja dan Thailand memiliki wewenang penuh untuk menentukan jalan keluar seperti apa yang akan mereka gunakan. Kita bisa melihat bahwa mereka memilih untuk menyelesaikan masalah secara bilateral tanpa melibatkan pihak ketiga. PBB ataupun ASEAN tentunya tidak bisa mengintervensi keputusan tersebut. Dan dengan keputusan itu, tentunya masing-masing negara benar-benar bergantung pada kemampuan bertahannya masing-masing.

Akan tetapi, asumsi realis kembali terbukti di sini. Walaupun mereka telah melaksanakan beberapa kali perundingan, baku tembak dan peperangan tetap saja tidak dapat dihindarkan. Malah lama-kelamaan, korban yang jatuh dari baku tembak tersebut semakin meningkat. Dari baku tembak pertama hanya korban luka-luka, meningkat hingga terdapat korban meninggal. Hal ini menunjukan bahwa dalam berbagai kasus antar negara, perang cenderung terjadi. Konsekuensi tersebut dikarenakan kondisi dunia yang anarki, dan tidak terdapatnya suatu entitas pemegang kekuasaan yang mampu mengatur tatanan dunia tersebut. Selain itu, adanya pola hubungan yang konfliktual juga turut mendorong terjadinya perang.

Asumsi yang ketiga menyatakan bahwa keamanan nasional dan kelangsungan negara merupakan poin penting dalam hubungan luar negeri suatu negara. Dalam konflik ini, penulis melihat Thailand sebagai pihak yang memperkeruh suasana. Tentunya hal ini dilakukan Thailand karena suatu alasan yaitu stabilitas dalam negeri. Kita bisa merujuk kepada peristiwa dimana pemerintahan Thailand yang dipimpin Samak mendukung Kamboja dalam pendaftaran Kuil Preah Vihear sebagai Warisan Dunia. Keputusan tersebut membantu kejatuhan Samak dari kursi Perdana Menteri. Akan tetapi, alasan utama dari kejatuhan Samak adalah hubungannya dengan mantan PM Thaksin dan berita bahwa Samak adalah anteknya Thaksin. Samak akhirnya digantikan oleh Somchai yang, apabila kita teliti, merupakan kerabat dari Thaksin. Kondisi ini tentu saja membuat posisi Somchai rawan untuk diturunkan pula dari tahtanya. Bagaimana tidak, Samak saja yang dicap antek Thaksin lengser dari tahtanya, apalagi Somchai yang nyata-nyata adalah kerabat Thaksin.

Dengan kondisi seperti itu, pemerintahan Somchai berusaha mengalihkan perhatian masyarakat. Thailand mengangkat isu Kuil Preah Vihear ini dalam rangka mengalihkan perhatian masyarakat kepada munculnya sebuah musuh bersama yang datang mengancam. Ketika setiap dinamika dalam perebutan Kuil Preah Vihear menjadi sorotan nasional Thailand, tentunya masalah lain seperti gejolak anti Thaksin dan kroninya menjadi terkesampingkan. Minimnya gejolak politik tersebut tentunya akan berimplikasi kepada meningkatnya stabilitas politik dalam negeri. Dengan tindakan ini, Somchai bisa menjaga stabilitas dalam negerinya, walaupun di sisi lain, Somchai mengorbankan hubungan luar negerinya dengan Kamboja. Di sini terlihat bagaimana isu kesatuan negara dan stabilitas nasional menjadi prioritas negara. Di samping itu, secara pribadi Somchai juga mengamankan posisinya sebagai Perdana Menteri.

Pendapat penulis bahwa Thailand adalah pihak yang memperkeruh suasana juga bisa dipahami dengan melihat kekuatan dari masing-masing negara. Thailand merupakan negara yang lebih maju dan kuat jika dibandingkan dengan Kamboja. Dalam bidang militer, Thailand jauh mengungguli Kamboja. Thailand memiliki 300.000 personil serta perlengkapan senjata mutakhir yang tidak dimiliki Kamboja. Thailand juga memiliki pesawat tempur F-16 dan sejumlah helikopter Blackhawk, sedangkan Kamboja hanya memiliki beberapa pesawat tempur, seperti MiG-21, dan berbagai persenjataan dari Uni Soviet, yang telah ketinggalan jaman. Dalam bidang ekonomi, memang terdapat hubungan interdependensi antara kedua negara tersebut. Namun, karena kondisi perekonomian yang lebih baik, Thailand tidak terlalu tergantung dengan Kamboja. Akan tetapi, tidak begitu dengan Kamboja yang banyak mengimpor barang-barang dari Thailand. Dengan kondisi seperti ini, tentu saja bukanlah tindakan rasional jika Kamboja mencari-cari masalah dengan Thailand. Padahal dalam realis, aktor negara adalah rasional. Apalagi menurut hukum internasional, pemilikan kuil tersebut telah berada di tangan Kamboja. Selain itu, Kamboja juga merupakan negara yang relatif stabil dan tidak membutuhkan pengalihan perhatian terhadap musuh bersama demi menjaga stabilitas domestik. Malahan, Kamboja sedang melaksanakan Pemilu ketika konflik ini berlangsung. Tentunya konflik ini bisa menjatuhkan popularitas PM Hun Sen yang berkuasa saat itu, walaupun pada akhirnya Hun Sen tetap terpilih kembali.

III.3 Konflik Kuil Preah Vihear Sebagai Kebijakan Luar Negeri Thailand

Berdasarkan pembedahan konflik Kuil Preah Vihear dengan pisau bedah realisme di atas, kita bisa menemukan bahwa konflik Kuil Preah Vihear merupakan kebijakan luar negeri dari Thailand. Ketepatan kebijakan luar negeri tersebut bisa kita teliti dengan mengaitkannya dengan sasaran dari kebijakan luar negeri yang telah penulis kemukakan di Bab Landasan Teori.

Untuk poin pertama kita dapat memetakan bahwa alasan Thailand mengklaim Kuil Preah Vihear dan mengangkat kasus ini ke publik adalah demi alasan ekonomi yaitu sebagai objek pariwisata. Kuil Preah Vihear merupakan situs sejarah yang menarik banyak wisatawan setiap tahunnya. Dan akses ke Kuil Preah Vihear lebih mudah dijalani dari sisi yang merupakan kekuasaan Thailand. Jadi setiap tahun Thailand menyaksikan sendiri betapa banyak wisatawan yang menumpang lewat ke wilayahnya untuk memasuki kompleks Kuil Preah Vihear. Padahal Thailand sendiri adalah negara yang terkenal dengan keunggulan pariwisatanya, tentu saja Thailand ingin menguatkan dirinya sebagai tujuan wisata dengan memasukkan Kuil Preah Vihear sebagai salah satu objek wisatanya. Apalagi dengan status sebagai salah satu Warisan Dunia versi UNESCO, Kuil ini tentu akan sangat menjual. Jadi jelaslah bahwa alasan yang pertama dari sikap Thailand ini adalah mendukung kepentingan ekonomi, sesuai dengan poin kedua dari sasaran kebijakan luar negeri.

Alasan kedua yang melatarbelakangi tindakan Thailand ini adalah terkait dengan perebutan pengaruh dan pameran eksistensi di daerah Indocina. Thailand berusaha memperlihatkan kekuatan militernya di daratan Indocina dengan tujuan membangun harga diri nasional dan memamerkan kekuatan. Hal ini diharapkan dapat menggentarkan pihak-pihak yang berpotensi menjadi ancaman dalam negeri Thailand. Dengan aksi baku tembak dengan Kamboja di perbatasan, Thailand berusaha memperlihatkan alut sista dan kemampuan militernya, tidak hanya kepada Kamboja, tetapi juga kepada dunia. Jelaslah bahwa tindakan Thailand dalam mempermasalahkan klaim Kuil tersebut juga berkaitan dengan poin keempat dari sasaran kebijakan luar negeri yaitu melindungi harga diri nasional serta membangun kekuatan nasional, dalam hal ini, berupa pengaruh dan hegemoni.

Alasan selanjutnya yang kita temui dalam menganalisis kasus ini adalah kepentingan Pemerintah Thailand untuk menjaga stabilitas dan persatuan dalam negeri. Stabilitas dan persatuan dalam negeri tersebut dicapai dengan cara pengalihan perhatian masyarakat terhadap adanya musuh bersama negara. Ketika musuh bersama dimunculkan, masyarakat Thailand akan menggelora rasa nasionalismenya serta bangkit perasaan ingin membela seluruh kekayaan dan aset bangsa. Perasaan dan perhatian tersebut membuat masyarakat lupa—setidaknya teralihkan—dari isu politik Thaksin dan kroni-kroninya. Hal ini, terbukti ketika gejolak kasus Kuil Preah Vihear muncul ke publik, demonstrasi terhadap pemerintahan menurun dan digantikan dengan demonstrasi yang menyuarakan pembelaan atas klaim Kuil Preah Vihear. Dan ketika konflik ini telah mereda, Thailand kembali diguncang oleh instabilitas politik yang berujung pada turunnya Somchai dari kursi Perdana Menteri. Alasan ini pun sangat sesuai dengan poin pertama dan ketiga dari sasaran kebijakan luar negeri yaitu menjag stabilitas dan keamanan negara.

Konflik Kuil Preah Vihear merupakan bukti bahwa diplomasi tidak selalu menjadi pilihan utama dari suatu negara. Pilihan utama dari suatu negara adalah yang paling menguntungkan bagi kepentingan nasionalnya. Ketika diplomasi dianggap tidak lagi mengakomodasi kepentingan nasional, Thailand menempuh jalan kekuatan untuk menggantikannya. Dan terbukti bahwa kekuatan tersebut cukup memberi keuntungan terhadap Thailand. Dengan jalan kekuatan dalam konflik ini, perhatian rakyat teralihkan sehingga stabilitas dan keamanan dalam negeri menjadi terjaga.

Jadi, dapat kita simpulkan berdasarkan hasil analisis melalui perspektif realisme serta kesesuaian dengan berbagai aspek di dalam sasaran kebijakan luar negeri, serta upaya yang ditempuh dalam menghadapi ketidakefektifan diplomasi, konflik Kuil Preah Vihear memiliki hubungan dengan gejolak politik dalam negeri Thailand dimana konflik terebut menjadi pengalih perhatian demi meredam gejolak politik yang ada. Selain itu, sikap Thailand dalam konflik ini merupakan sebuah kebijakan luar negeri yang tepat karena bersesuaian dengan empat dari lima sasaran kebijakan luar negeri. Dan juga, tindakan ini merupakan bukti bahwa esensi dari diplomasi yaitu perjuangan kepentingan dalam negeri memang hal yang amat penting. Sehingga, ketika kepentingan dalam negeri merupakan tujuan utama walaupun mengesampingkan perdamaian yang merupakan ciri sebuah diplomasi. Oleh karena itu, jelaslah bahwa konflik Kuil Preah Vihear merupakan salah satu ketepatan dan keberhasilan kebijakan luar negeri Thailand dalam rangka mencapai kepentingan nasional.

BAB IV

Penutup

Memang terdapat hubungan antara konflik Kuil Preah Vihear dengan gejolak politik dalam negeri Thailand. Kita bisa melihat hubungan ini dalam bentuk yang berbanding terbalik. Ketika perhatian dan ketegangan di dalam konflik ini memuncak maka gejolak politik dalam negeri Thailand menjadi menurun, begitu pula sebaliknya. Sikap dan tindakan Thailand di dalam konflik ini tepat menurut sasaran kebijakan luar negeri. Keterlibatan Thailand dalam konflik ini beralasan demi menjaga kepentingan ekonomi, menjaga harga diri dan membangun kekuatan nasional, serta menjaga keamanan dan stabilitas nasional Dan. perjuangan memperoleh kepentingan nasional menjiwai kebijakan luar negeri Thailand sehingga tidak terlalu mengedepankan diplomasi. Setelah mendapat poin-poin tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis makalah ini terbukti, yaitu benar adanya bahwa konflik Kuil Preah Vihear merupakan keberhasilan dan ketepatan kebijakan luar negeri Thailand dalam rangka mencapai kepentingan nasional Thailand.

DAFTAR PUSTAKA

Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice, (New Jersey: Prentice Hall, 1990) hal 116

Prakash Chandra, International Politics (3rd Revised Edition), (New Delhi: Vikash Publishing House PVT Ltd., 1995), hal 73

Roy, Samendra Lal, Perwanto dan Mirsawanti (Penerjemah), Diplomasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 5.

Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, 6th edition. (New York: Knopf, 1966), hlm. 54.

www.google.com



[1] Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice, (New Jersey: Prentice Hall, 1990) hal 116

[2] Prakash Chandra, International Politics (3rd Revised Edition), (New Delhi: Vikash Publishing House PVT Ltd., 1995), hal 73

[3] Roy, Samendra Lal, Perwanto dan Mirsawanti (Penerjemah), Diplomasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 5.

[4] Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, 6th edition. (New York: Knopf, 1966), hlm. 54.

[5] www.google.com

1 komentar:

  1. Dua pertanyaan masalah tidak mampu dijawab dengan baik dalam pembahasan. Subjek pembahasan tidak terkait dengan bentuk diplomasi yang dilakukan. saya tidak berhasil menemukan endnotes yang kamu gunakan. (Shiskha P.)

    BalasHapus